09 November 2018
Tembok berfungsi membatasi dan memisahkan. Menjadi sekat pemisah antar gedung, antarrumah, antar wilayah. Bahkan pemisah antara dua paham atau ideologi, pemisah antara dua kelompok masyarakat—seperti Tembok Berlin di Jerman kala masih kokoh berdiri.
Di antara orang Yahudi dan orang Samaria ada tembok yang tak terlihat. Tembok sentimen yang terbangun sejak leluhur mereka. Dipercayai dan dihidupi turun-temurun. Akibatnya, mereka tidak saling bergaul. Tuhan Yesus menempuh jalan yang berbeda. Dia mengajak seorang perempuan Samaria untuk membuka dialog. Melalui percakapan mereka itu, nyatanya terbuka banyak peluang baru: pengakuan yang jujur, pencerahan pikiran, pengertian baru, jiwa yang terbuka bagi Tuhan, dan hubungan sosial yang baru. Indah, bukan?
Kita ini banyak mewarisi tembok-tembok yang memisahkan kita satu sama lain. Tradisi agama yang fanatik. Perbedaan pandangan politik. Prasangka buruk. Sentimen kesukuan. Dan sebagainya. Hasilnya cuma membuat kita berputar-putar di lingkaran kesalahpahaman, kemarahan, kebencian, dan permusuhan. Mengapa tidak mencoba langkah yang berbeda seperti yang Tuhan teladankan? Bukalah percakapan. Perlebarlah pergaulan. Binalah persahabatan. Bangunlah jembatan. Lalu lihatlah bedanya!
DI HADAPAN KITA TERSEDIA BATU-BATU.
TERGANTUNG KITA MAU MENDIRIKAN TEMBOK ATAU JEMBATAN.
Pipi Agus Dhali / RH