04 September 2017
John Stephen Akhwari, pria kelahiran tahun 1938 yang berkebangsaan Tanzania, membuat satu catatan penting yang akan dikenang sepanjang masa. Kisahnya terjadi di Mexico City pada tahun 1968. Saat itu Mexico menjadi tuan rumah Olimpiade ke 19.
Hari sudah gelap, sebagian lampu stadion sudah dipadamkan. Pertandingan lari marathon memang sudah berakhir. Setelah lewat satu jam lomba usai, tiba-tiba penonton di kejutkan oleh pengumuman dari pengeras suara. Pertandingan ternyata belum usai. Masih ada satu pelari yang akan memasuki stadion. Gemuruh tepuk tangan pun membahana saat seorang pelari mulai memasuki stadion. Para penonton memberikan standing ovation pada pelari bernomor 36 itu. Ia menjadi pelari terakhir yang sanggup menyelesaikan lomba lari marathon berjarak 42 km. Sebelas pelari lainnya memilih menyerah. Walaupun menjadi pelari paling buncit, sejarah mencatatnya sebagai pelari berhati baja, kukuh bagai karang di dalam mengemban sebuah tugas. Langkahnya memang tak mulus lagi, bahkan sempat terhenti saat memasuki pintu stadion. Sejenak ia tampak meringis menahan sakit, tetapi tekadnya sungguh mengalahkan segalanya. Dengan kaki terbebat perban, dia menuju garis finish.
Padahal, beberapa saat setelah bendera dikibarkan sebagai tanda dimulainya lomba lari marathon tersebut, Akhwari terjatuh dan mengalami lepas engsel pada sendi lututnya. Panitia menyarankan agar ia mengundurkan diri, tetapi Akhwari memutuskan untuk melanjutkan perlombaan tersebut. Sambil mengatasi rasa nyeri, Akhwari terus berlari hingga mencapai garis finish.
Setelah usai, Akhwari diwawancarai dan ditanya oleh wartawan mengapa ia terus bertekad untuk berlari. Akhwari menjawab : ”Negaraku tidak mengirim aku sejauh 5000 mil ke Mexico City untuk memulai perlombaan. Mereka mengirim aku untuk menyelesikannya.” Akhwari tidak ingin mengecewakan negara dan seluruh rakyat Tanzania. Negaranya tidak mengirimkannya untuk hanya memulai lomba lari marathon tersebut, tetapi juga untuk mengakhirinya. Ia tahu beban apa yang diletakkan di pundaknya dan ia mau bertanggung jawab untuk menyelesaikannnya.
Gelar “a king without crwon’ atau ‘raja tanpa mahkota’ akhirnya di sematkan kepadanya.
Sebagai orang beriman, kitapun sedang berada di dalam suatu lomba marathon yang harus di selesaikan. Lomba kita bukanlah lari cepat, namun lomba marathon yang jauh dan menuntut ketabahan serta kesabaran yang ekstra. Itulah lomba iman yang sedang kita jalani. Jangan pernah menyerah dan perlombaan iman itu agar kita bisa mengatakan “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.
Keuletan Stephen Akwari juga memberi inspirasi kepada kita agar berusaha memahami arti sebuah tugas. Banyak orang menganggap tugas sebagai beban yang menyusahkan.Kita seirngkali gagal untuk bersukacita dalam pekerjaan kita akibat salah pengertian.
Arti sebuah tugas adalah bahwa kita masih diberi kesempatan untuk menunjukkan potensi kita, karena itu kita harus membenahi cara berpikir kita dalam menghadapai sebuah tugas. Tugas adalah anugerah Tuhan bagi kita dimana kita bias membuat hidup kita menjadi lebih baik.
Karena itu selagi masih ada kesempatan, kerjakanlah segala tugas itu dengan sungguh-sungguh.